Setelah hari-hari itu berlalu, semua menjadi tidak baik-baik saja. Pagi yang semula indah seperti tertutup kabut duka yang membawa luka, siang yang sering kali cerah seketika nampak layu di pelupuk mata, menjadi syahdu, tak terasa hangat, bahkan jauh dari kata terik. Malam yang harusnya menunggu sejenak dibuat hadir lebih cepat, gelap.

Bersama dinginnya malam yang menyelimuti, lalu membawa lara ke ujung lamunan, sekat-sekat nestapa semakin menggerogoti hati, benar-benar terlelap oleh langit-langit kegelapan yang sesat.

Oleh semesta, nyanyian-nyanyian burung di senin pagi sebagai tanda mulainya hari baru seakan menantang ruas-ruas hati untuk kembali ke semula, di mana semua baik-baik saja dan tak terjadi apa-apa. Kata-kata itu yang tersemat sebagai asa melangkah ke babak baru.

Untuk beberapa saat nampak sepasang mata melewati lamunanku. Sama sekali tak kugubris, cenderung cuek, tak membuat tertarik, menikmati orang-orang lalu lalang dengan sejuta senyuman malah menjadi daya tarik tersendiri.

Kala itu di sebuah taman sang surya mulai meredup, peluh lebih nampak di raut wajah yang sedari awal memang mempunyai keinginan berjalan-jalan mengitari taman.

Lalu di tengah wajah-wajah penuh peluh itu ada seorang yang dapat mencuri perhatianku, seorang perempuan yang ayu nan anggun, terlihat ramah dengan sedikit tersipu, meninggalkan rona merah di pipinya, sepertinya dia tahu kalau ada yang memperhatikan gerak-geriknya diam-diam.

Hingga sampai di mana pada titik saling berhadapan, saling bertatap, saling memandangi, terlihat jelas ada yang tak biasa oleh tatap itu.

Seperti melihat apa yang diimpikan, apa yang dikhayalkan, membuat melupa akan yang lalu-lalu. Parasnya yang menawan seolah membuat enggan berlalu begitu saja. Benar-benar terpesona olehnya, dan kembali jatuh hati.

Dimulai saat tatap itu…